55. Pengadilan Terakhir
Dritarastra, Gandhari dan Kunti terbakar dilalap api di pertapaan mereka di dalam hutan. Krishna dan bangsa Yadawa punah karena mereka saling membunuh. Setelah para sesepuh dan sekutu Pandawa mati menurut suratan hidup masing- masing, mereka menobatkan Parikeshit, putra Abhimanyu dari Uttari, menjadi raja di Hastinapura.
Setelah upacara penobatan selesai, Pandawa dan Drau-padi berkemas, lalu pergi mendaki Gunung Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra. Seekor anjing menyertai mereka dalam pengembaraan mendaki gunung suci itu. Dalam perjalanan panjang, mereka berziarah ke tempat-tempat suci dan melintasi hutan belantara yang dihuni berbagai binatang buas, setan, jin dan makhluk-makhluk gaib lainnya.
Kelima Pandawa, Draupadi dan anjing mereka berjalan siang malam tanpa henti
Pada suatu hari, mereka tiba di kaki Gunung Himalaya lalu mulai mendaki dengan susah payah. Dalam pendakian ke puncak, satu per satu mereka jatuh ke dalam jurang lalu lenyap ditelan bumi. Yang pertama kali jatuh adalah Draupadi. Dosanya adalah karena ia sangat mencintai Arjuna, lebih daripada keempat saudaranya. Setelah Draupadi, menyusul Sahadewa. Dosanya ialah terlalu percaya diri dan terlalu yakin akan kesaktiannya hingga meremehkan dewa-dewa dan orang lain. Kemudian, Nakula. Kesatria ini memuja ketampanannya sendiri dan merasa bahwa keyakinan dan pandangannya yang paling benar. Setelah itu Arjuna jatuh ke jurang. Arjuna terlalu yakin akan kemampuannya untuk menghancurkan semua musuhnya. Demikian besar keyakinannya, hingga ketika jatuh, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus berusaha bangkit, sampai-sampai turun sabda dari surga yang menga-takan bahwa ia tak mungkin berkeras memegang keyaki-nannya selama ia masih ada di dunia. Arjuna disusul Bhimasena yang merasa kekuatannya bagaikan angin topan yang mampu menghancurkan bumi.
Meskipun keempat saudaranya dan Draupadi sudah hilang ditelan bumi, Yudhistira terus mendaki bersama anjingnya. Ia pupus duka di hatinya dengan memanjatkan doa-doa dan mengucapkan mantra-mantra. Ia terus mendaki, makin lama makin tinggi, sampai tiba di suatu tanah datar yang cukup luas. Di hadapannya terbentang nyala api kebenaran, menerangi jalan yang ditempuhnya. Di kanan kiri jalan itu tebing dan jurang menganga dalam kegelapan.
Ia bisa membedakan dengan jelas, mana kegelapan, mana bayangan dan mana kebenaran sejati. Ia berjalan terus ditemani anjing kesayangannya yang setia dan tak pernah sesaat pun lepas dari sisinya. Sesaat pun tak pernah dilepaskannya tali itu, walaupun istri dan saudara-saudaranya telah mendahului meninggalkannya.
Akhirnya ia tiba di pintu gerbang surga dan disambut Batara Indra yang mempersilakannya naik ke keretanya. Tetapi Yudhistira menolak sebelum ia mengetahui keadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Katanya, “Aku berterima kasih kau sambut masuk ke surgamu. Tetapi aku tidak mau jika istri dan saudara- saudaraku tidak ada di sana.”
Batara Indra meyakinkan Yudhistira bahwa istri dan saudara-saudaranya telah mendahuluinya. Ia juga menjelaskan bahwa Yudhistira paling akhir “dipanggil” karena ia memikul tanggung jawab raga yang terakhir. Ketika naik ke kereta Batara Indra bersama anjingnya, ia ditolak.
“Tidak ada tempat bagi anjing di surga,” kata Batara Indra.
“Kalau demikian, bagiku juga tidak ada tempat di surga. Tidak mungkin bagiku meninggalkan anjingku yang setia menemaniku dalam suka dan duka,” jawabnya.
Setelah menjawab demikian, Yudhistira turun dari ke-reta kahyangan itu bersama anjingnya. Batara Indra senang mendengar jawaban Yudhistira, sebab Yudhistira menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghormatan kepada teman hidupnya, meskipun temannya itu hanya seekor anjing. Batara Indra mempersilakan Yudhistira lagi naik ke keretanya dan kali ini anjingnya diijinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.
Yudhistira masuk ke surga bersama Batara Indra. Di sana ia melihat Duryodhona yang duduk di singgasana indah keemasan, disinari cahaya kemuliaan dan dilayani bidadari-bidadari cantik jelita. Tetapi Yudhistira tidak meli-hat Draupadi, Bhimasena, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa di situ. Karena itu, ia menolak untuk tinggal lebih lama di situ tanpa istri dan saudara-saudaranya. Dalam hati ia heran, kenapa Duryodhona yang angkara murka, yang telah mengorbankan sanak saudaranya untuk memenuhi nafsu dan ambisinya sekarang bisa duduk di singgasana itu dengan penuh kemegahan? Mengapa Draupadi dan saudara- saudaranya yang selalu hidup mematuhi dharma tidak ada di situ? Yudhistira sangat kecewa.
“Katakan, di mana istri dan saudara-saudaraku! Aku ingin berkumpul dengan mereka, di mana pun mereka berada,” kata Yudhistira.
Batara Narada menghampiri putra Pandu itu dan berkata, “Wahai anakku, di surga tidak ada perbedaan. Tidak patut engkau berpikir buruk. Duryodhona yang gagah berani mencapai tingkat ini karena kekuatan dharma-nya sebagai kesatria. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk bertakhta dalam ragamu yang tidak kekal. Hukum surga melenyapkan segala perasaan dan pikiran buruk. Tinggal-lah engkau di sini!”
Yudhistira tetap menolak untuk tinggal di surga tanpa istri dan saudara- saudaranya.
Melihat keteguhan Yudhistira, Batara Indra menyuruh bidadari surga mengantarkannya ke tempat saudara-saudaranya. Perlahan-lahan rohnya meninggalkan raganya. Roh Yudhistira kemudian masuk ke tempat yang sangat gelap, licin dan berbahaya. Sebentar-sebentar terlihat seberkas api menyala seram. Bau busuk menusuk hidung dan suara-suara aneh menggema menyeramkan.
Makin jauh ia meraba-raba dalam kegelapan, makin terasa olehnya bahwa ia memasuki gua yang dalam dan berlumpur busuk. Bau mayat dan bangkai yang membusuk menusuk hidung. Suara-suara seram itu membuat bulu kuduknya berdiri. Makin jauh ia masuk ke dalam gua, suasana semakin menyeramkan. Mayat manusia dan bangkai binatang bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa tangan, ada yang matanya melotot, ada yang isi perutnya terburai. Semua menyeramkan. Yudhistira semakin jauh tenggelam dalam neraka sampai akhirnya ia
tidak dapat bergerak lagi. Ia terjepit di antara mayat dan bangkai yang membusuk. Ia tak tahan lagi mencium bau busuk itu. Kepalanya pusing.
Akhirnya ia bertanya, “Katakan sebenarnya di mana Draupadi dan saudara- saudaraku berada. Berapa jauh lagi tempat mereka? Aku tidak menemukan mereka di sini.”
Bidadari itu menjawab, “Kalau sudah tak tahan, kau boleh kembali!”
Yudhistira memang sudah tak tahan. Ia ingin kembali. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang merintih kesakitan, suara-suara yang ia kenal, “Dharmaputra, jangan berbalik. Kehadiranmu di sini membuat hati kami tenang dan duka kami seakan hilang. Bergabunglah dengan kami. Mari kita hadapi siksaan ini agar kita memperoleh kedamaian abadi!”
Walaupun hampir pingsan, Yudhistira masih sempat bertanya, “Siapakah kalian yang berkata-kata demikian dalam gelapnya neraka? Kenapa kalian ada di sini?”
Satu demi satu suara-suara itu menjawab, “Wahai Raja yang bijaksana, aku Karna,” jawab suara pertama. Disusul suara kedua, “Aku Bhima,” lalu suara ketiga, “Aku Arjuna, saudaramu.” Suara-suara lainnya menyusul, “Aku Draupadi.” “Aku Nakula.” “Aku Sahadewa.”
Suara lain berkata, “Kami putra-putra Draupadi.” Diikuti suara-suara lain yang bergema dalam gelap. Mendengar suara-suara yang ia kenal, Yudhistira sangat kecewa. Tidak seperti yang dia harapkan, yang terjadi adalah sebaliknya! Semua saudara dan sekutunya yang telah menjalankan dharma dalam hidupnya, kini berada di dunia paling bawah, di neraka! Sedangkan orang seperti Duryodhona dan saudara-saudaranya, yang jahat dan angkara murka, malah bersenang-senang di surga.
Kepada bidadari yang mengantarkannya Yudhistira mengucapkan terima kasih dan berkata, “Katakan kepada Batara Indra, aku memilih tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaraku daripada di surga bersama Duryodhona dan Kurawa. Sekarang, kembalilah engkau ke khyangan Batara Indra dan sampaikan pesanku kepadanya.”
Bidadari itu meninggalkan Dharmaputra untuk menyampaikan pesannya kepada Batara Indra.
Yudhistira telah memasuki dunia maya. Tiga belas hari lamanya ia tenggelam dalam dunia maya itu. Kemudian Batara Indra dan Batara Yama muncul. Suasana gelap, bau busuk dan pemandangan mengerikan itu perlahan-lahan menghilang. Sinar terang muncul, berpendar-pendar sangat indah. Bau harum semerbak menyusupi hidung ketika kedua batara itu muncul di hadapannya.
“Wahai kesatria bijak, ini adalah ketiga kalinya aku menguji keteguhan jiwamu. Engkau memilih untuk tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaramu. Engkau menolak tinggal di surga bersama Duryodhona dan Kurawa. Engkau tetap setia pada anjingmu.
“Ada keharusan bagi arwah para kesatria dan raja untuk tinggal di neraka selama beberapa waktu. Engkau telah merelakan dirimu untuk merasakan penderitaan di neraka. Hari ini hari ketiga belas, hari yang tepat untuk mengakhiri penderitaan itu. Sebenarnya, tak seorang pun ada di neraka. Tidak Krishna, tidak
Karna, tidak Draupadi, juga yang lain. Semua itu maya. Tempat ini bukan neraka, melainkan surga,” kata Batara Yama.
Demikianlah, setelah Batara Yama selesai berkata-kata, keadaan berbalik. Pandawa dan sekutunya yang semua tinggal di neraka kini diangkat ke surga. Sementara itu, Kurawa dan sekutunya yang pernah mencicipi indah dan damainya surga, diturunkan ke neraka.
Setelah mengalami berbagai cobaan, Yudhistira menghadapi pengadilan terakhir. Yudhistira menemui kedamaian abadi, terlepas dari beban pikiran dan perasaan yang mengikat manusia dengan hal-hal duniawi. Dia kemudian bersemayam bersama Batara Indra di surgaloka.
Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan kebatilan. ***
Tentang Penulis
Nyoman S. Pendit, lahir di Pulau Dewata, tepatnya di Tabanan pada tanggal 26 Juli 1927. Penulis menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Visva Bharati University, Santiniketan, India. Nyoman S. Pendit sangat produktif menulis buku dan artikel tentang seni budaya, falsafah, agama Hindu, dan pariwisata. Tulisannya tentang sastra klasik India yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, selain Mahabharata ini, adalah Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunon (2001) dan Bhagavadgita (2002).
Di samping dikenal sebagai penulis, wartawan, dan terlebih sebagai tokoh penting dalam agama Hindu di Indonesia, beliau juga adalah pejuang dan prajurit pada masa perang kemerdekaan Indonesia pada sekitar tahun 1945-1954.
Nyoman S. Pendit, di usianya yang sudah tiga perempat abad masih tampak bugar dan tak hentinya menuangkan buah-buah pikirannya di dalam berbagai tulisan.
0 comments: