53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
Pandawa, dari Bharatawarsa telah menaklukkan Kau-rawa dan kini menjadi penguasa Kerajaan Hastina yang amat luas wilayahnya. Mereka memerintah sesuai petun-juk dharma. Bagawan Wyasa sering mengunjungi Yudhis-tira untuk memberi nasihat atau petunjuk. Bagawan yang bijak itu selalu menghibur Dharmaraja yang masih terus berduka. Ia bercerita tentang berbagai kejadian dan peris-tiwa di masa lampau. Cerita tentang orang-orang berjiwa besar yang berhasil menaklukkan godaan hati dan tekanan jiwa, seperti hawa nafsu, ketamakan, kebencian, dendam dan iri hati. Namun demikian, Yudhistira selalu merasa bahwa kemenangannya tidak membuatnya bahagia, tidak seperti yang semula dibayangkannya.
Bagaimana dengan Dritarastra yang kehilangan semua-nya? Anak-anaknya dan kerajaannya? Dan bagaimana pula sikapnya terhadap Yudhistira?
Sementara itu, Dritarastra yang tenggelam dalam kepe-dihan selalu mendapat perlakuan baik dari Pandawa. Mereka selalu berusaha menyenangkan hati Dritarastra dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Demikian pula, Dewi Gandhari. Ibu Kurawa itu selalu diperlakukan dengan baik oleh Dewi Kunti, adik iparnya, dan Draupadi, yang bersikap seperti terhadap mertuanya sendiri.
“Yudhistira menghiasi istana Dritarastra dengan perabotan serba indah. Semua keinginan raja tua itu dipenuhi-nya. Setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat-lezat.
Kripa dan Sanjaya diminta untuk setia menemani raja tua itu. Kecuali itu, Bagawan Wyasa sering mengunjungi Drita-rastra untuk menghiburnya dengan kisah-kisah bertema keagamaan dan falsafah hidup.
Sebagai raja, Yudhistira tidak pernah mengeluarkan pe-rintah tanpa persetujuan Dritarastra. Dalam urusan peme-rintahan sehari-hari, Yudhistira tidak segan-segan memin-ta nasihat kepada Dritarastra. Ia selalu menghormati raja tua itu sebagai penguasa tertinggi. Dalam tutur katanya, Dharmaraja selalu berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Setiap utusan atau raja negeri asing yang berkunjung ke Hastinapura diwajibkan untuk menghadap Dritarastra lebih dulu, karena dialah yang dianggap seba-gai Rajadiraja Hastinapura. Semua dayang dan pelayan istana mendapat perintah untuk tetap memperlakukan Dewi Gandhari sebagai Ratu.
Kepada saudara-saudaranya, Yudhistira mengingatkan agar mereka sama sekali tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Dritarastra dan Dewi Gandhari sedih. Semua saudaranya mematuhi harapan kakaknya, kecuali Bhimasena yang sesekali melanggarnya. Kadang-kadang ia lupa, berkata kasar dan menyinggung perasaan. Jika demikian, Dritarastra dan Dewi Gandhari hanya menanggapi dengan diam dan memendam kesedi-han mereka dalam hati. Rupanya Bhimasena belum bisa melupakan dan memaafkan perlakuan Duryodhona, Karna dan Duhsasana kepada Draupadi. Dewi Gandhari, yang terus berusaha memperlakukan Pandawa dengan penuh kasih, sebenarnya tahu bahwa Bhimasena masih men-dendam. Tetapi, ia adalah wanita agung yang berbudi luhur. Ia justru membalas perlakuan Bhimasena dengan kasih yang semakin berlimpah.
Lima belas tahun sudah Yudhistira memerintah di Has-tinapura. Akhirnya Dritarastra tak tahan lagi menanggung dukanya karena sindiran dan tingkah laku Bhimasena yang selalu membuatnya sedih dan tersinggung. Tak bisa lagi dia memaafkan Bhimasena dan bersikap pura-pura tak peduli. Meskipun kebaikan budi Yudhistira tiada tara-nya, sebagai manusia biasa lama-lama ia tak tahan diper-lakukan seperti itu. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dritarastra berpuasa, tidak makan tidak minum, menyiksa raga dengan tidur di tanah, siang kepanasan malam kedinginan. Hal ini diikuti oleh Gandhari, hingga mereka kurus, pucat dan lemah.
Pada suatu hari Dritarastra memanggil Yudhistira dan berkata, “Telah lima belas tahun aku hidup bahagia dalam lindunganmu. Engkau selalu melayani kami dengan penuh kasih sayang. Setiap hari suci dan hari besar aku memper-sembahkan sesaji untuk arwah nenek moyang dan memo-hon restu mereka demi kesejahteraanmu.
“Anak-anakku yang kejam dan berbuat jahat kepadamu telah musnah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka telah menebus dosa mereka sebagaimana mestinya dan semua mati secara perwira sebagai kesatria.
“Kini tiba waktunya bagi kami, aku dan Gandhari, untuk melakukan dharma kami selanjutnya, yaitu pergi ke hutan untuk bersamadi. Dari sana, kami akan selalu men-doakan kalian. Sekarang ijinkan kami pergi untuk meng-ikuti jalan yang telah dirintis oleh nenek moyang kita di masa lampau.”
Mendengar kata-kata pamannya dan melihat keadaan Dritarastra dan Dewi Gandhari yang kurus dan lemah, Yudhistira sangat terkejut. Ia berkata, “Sungguh aku tidak tahu bahwa Paman dan Bibi telah menyiksa diri dengan berpuasa dan tidur di tanah. Saudara-saudaraku pun tidak tahu. Aku kira, selama ini Paman dan Bibi dilayani dengan baik. Jika Paman menderita, itu akibat dosaku juga.
“Kini aku sadar, tak ada gunanya bagiku menjadi raja. Tak ada gunanya aku berkuasa. Aku manusia penuh dosa! Nafsu dan ambisi telah menyeretku menjadi raja di atas mayat saudara-saudaraku.
“Paman, biarlah Yuyutsu, anakmu, menjadi raja. Atau orang lain yang engkau pilih. Atau jika Paman mau, silakan Paman memerintah kerajaan ini. Aku saja yang pergi ke hutan untuk mengkahiri dosa-dosaku sampai di sini. Aku tak pantas menjadi raja. Engkaulah yang lebih pantas.
“Sekarang Paman minta pamit kepadaku. Bagaimana mungkin aku menolak karena sesungguhnya engkaulah Raja yang berkuasa? Engkaulah yang seharusnya meng-ijinkan aku pergi ke hutan.
“Ketahuilah Paman, sedikit pun aku tidak mendendam terhadap Duryodhona atau siapa pun. Semua itu telah berlalu. Kami adalah anak-anakmu. Dewi Gandhari dan Dewi Kunti adalah ibu-ibu kami yang sama-sama kami kasihi. Jika Paman tetap hendak pergi ke hutan, ijinkan aku menyertaimu. Apa gunanya aku tinggal di sini jika engkau tinggal di hutan? Aku sujud di hadapanmu, mohon maaf dan ampun atas semua kesalahanku. Dengan mela-yani engkau, aku mendapat kebahagiaan. Berikan kesempatan itu kepadaku. Jangan tinggalkan aku.”
Dritarastra terharu. Kemudian ia berkata, “Wahai, Putra Dewi Kunti, tekadku telah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Kalau tidak demikian, aku tidak akan menemukan kedamaian sepanjang hidupku. Engkau harus mengijinkan aku pergi.”
Setelah berkata begitu, Dritarastra menoleh kepada Wi-dura dan Kripa sambil berkata, “Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Aku tak bisa bicara lagi. Kerongkonganku kering. Aku harap engkau berdua menasihati Raja agar mengijinkan aku pergi.” Setelah berkata demikian, Dritarastra menyandarkan diri pada Dewi Gandhari. Raganya telah lemah sekali.
***
Akhirnya Dharmaraja menyetujui kepergian mereka ke hutan. Dia memerciki wajah Dritarastra dengan air suci sebagai tanda ucapan selamat jalan dan selamat berpisah. Bagawan Wyasa menegaskan kepada Yudhistira bahwa sudah sepatutnya ia membiarkan raja tua itu pergi ke hutan, karena usia tua membuatnya tak sanggup memikul duka, lebih-lebih karena kematian semua anaknya.
“Biarkan ia pergi dan hidup di antara tanaman yang menebarkan keharuman bunganya dan pepohonan yang menawarkan buah-buahan segar untuk melupakan segala beban dan dukanya di dunia ini.
“Dharma seorang raja adalah mati di medan perang atau menghabiskan hari tuanya dengan bertapa di hutan. Drita-rastra telah lama memerintah kerajaan ini dan telah me-langsungkan upacara-upacara yajna. Ketika engkau hidup di pengasingan selama tiga belas tahun, ia menikmati dunia ini melalui anaknya. Ia menerima persembahan dan memberi hadiah kepada setiap orang yang menjalin persa-habatan dengannya.
“Selama lima belas tahun ini engkau memperlakukan dia dengan baik. Tapi kini dia sudah tak punya keinginan atau ambisi duniawi. Telah tiba saatnya bagi dia untuk hidup bertapa. Lepaskan kepergiannya dengan rela, agar ia bisa pergi dengan hati ringan.”
Setelah Raja Yudhistira mengijinkan, Dritarastra dan Dewi Gandhari menyudahi puasa mereka dan bersiap-siap untuk berangkat. Sesaat sebelum meninggalkan istana, Dritarastra memanggil Yudhistira untuk merestuinya.
Dewi Kunti ikut pergi bersama mereka demi memenuhi janjinya untuk selalu mendampingi Dewi Gandhari. Sebe-lum pergi, ibu Pandawa itu berkata kepada Dharmaraja, “Anakku, jangan pernah memperlihatkan amarahmu jika sedang bicara dengan Sahadewa. Jangan lupakan Karna yang gugur di medan perang sebab ia anakku dan saudaramu juga. Aku berdosa karena tidak menceritakan kepadamu siapa dia sebenarnya. Jagalah Draupadi dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai engkau membuat Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa sedih.
“Ingatlah selalu hal ini. Beban keluarga sepenuhnya terletak di pundakmu. Pikullah dengan sabar dan tabah.
“Aku akan menyertai Gandhari untuk hidup secara sanyasa di hutan. Pada waktunya kelak, aku akan bersatu dengan ayahmu. Semoga engkau selalu dilindungi dharma. Terimalah restu ibumu.”
Dritarastra, Gandhari dan Kunti meninggalkan Hastina-pura. Dritarastra yang buta berpegang pada bahu Gan-dhari dan berjalan di belakangnya, sedangkan Gandhari dengan mata tertutup secarik kain berpegang pada bahu Kunti dan berjalan di belakangnya. Mereka berjalan ber-iringan.
Yudhistira mengantar mereka sampai ke gerbang istana lalu melepas kepergian mereka sampai hilang dari pan-dangan. Ia tak dapat menahan perasaannya dan menangis lirih.
***
Pada suatu hari, setelah tiga tahun mereka melewatkan hari-hari dengan menjalani kehidupan sanyasa, terjadilah kebakaran hebat di hutan itu. Api menjilat- jilat sampai ke pertapaan mereka. Sanjaya, yang menyertai mereka, diminta meninggalkan pertapaan. Dritarastra yang buta, Gandhari dan Kunti tetap tinggal. Mereka terus bersamadi dengan khusyuk sampai api menghanguskan raga mereka.
Sanjaya, yang selama hidupnya selalu mendampingi Raja Dritarastra, pergi ke Gunung Himalaya dan bertapa di lereng gunung yang suci itu.
0 comments: