45. Kedua Pihak Berusaha Keras untuk Menang
Pada hari keenam, sesuai perintah Yudhistira, Dristadyumna menyusun balatentara Pandawa dalam formasi makara, yaitu sejenis udang besar yang kepalanya bertan-duk. Sementara itu, pasukan Kurawa diatur dalam forma-si krauncha, yaitu sejenis burung bangau raksasa.
Pertempuran hari ke enam ditandai dengan tewasnya lebih banyak prajurit di kedua belah pihak. Hari masih pagi ketika Pandawa membunuh sais kereta Drona. Karena itu, Drona sendiri yang mengemudikan keretanya, sambil terus bertempur dengan garang.
Pagi itu Bhima mengamuk, memporak-porandakan for-masi musuh. Untuk kesekian kalinya ia berhadapan dengan Duryodhona. Semula pihak Kurawa menugaskan Duryodhona untuk menangkap dan membunuh Bhima. Tetapi akhirnya tugas itu diserahkan kepada saudara-saudaranya yang kemudian dengan licik mengeroyok Bhimasena. Mereka yang menggantikan Duryodhona adalah Duhsasana, Durwishada, Durmata, Jaya, Jayatsena, Wikarna, Chitrasena, Sudarsena, Charuchitra, Suwarma, Dushkarna dan beberapa lagi. Tetapi Bhima tidak takut dan tidak peduli berapa jumlah mereka. Ia terus menerjang ke depan, menggempur siapa pun yang menghalanginya. Seperti biasa, jika sedang marah Bhima sering kehilangan kendali. Dikeroyok begitu, hilanglah kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat turun dari keretanya lalu mengayun-ayunkan gadanya yang terkenal sakti sambil berlari ke arah anak-anak Dritarastra.
Ketika Dristadyumna tidak melihat kereta Bhimasena di tengah kerumunan pasukan musuh, ia merasa cemas. Segera ia memacu keretanya ke kerumunan musuh yang mengepung Bhimasena. Dengan nekat dia menerjang pasukan Kurawa. Sampai di tengah pasukan musuh, ia tidak melihat Bhima tetapi hanya Wisoka, sais kereta Bhima. Wisoka melaporkan bahwa dengan bersenjata gada Bhima bertempur melawan putra-putra Dritarastra dan ia diperintahkan menunggu di kereta.
Mendengar itu, Dristadyumna pun mengarahkan keretanya lebih jauh ke tengah pasukan musuh. Laju ke-retanya terhalang oleh mayat manusia dan bangkai gajah serta kuda yang bergelimpangan, tapi dengan penuh tekat Dristadyumna terus maju. Akhirnya dia melihat Bhima-sena sedang bertarung seru dengan putra-putra Dritaras-tra. Tubuh kesatria Pandawa itu berlumuran darah, bela-san anak panah menancap di sana-sini. Dengan tangkas Dristadyumna mengarahkan keretanya mendekat dan secepat kilat menyambar Bhimasena serta menaikkannya ke dalam keretanya. Dipeluknya kesatria perkasa itu dengan penuh kasih. Darah Bhima pun membasahinya. Segera dia memutar kereta dan melarikan Bhima keluar dari arena pertempuran.
Duryodhona yang mengira Bhimasena dan Dristadyum-na sudah tak berdaya lagi segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang mereka. Ratusan pasukan Kau-rawa menghadang laju kereta Dristadyumna. Kesatria itu lalu mengeluarkan senjata gaib yang diperolehnya dari Mahaguru Drona ketika ia berguru kepadanya. Dengan senjata itu ia menghancurkan musuhnya. Tak terbilang jumlah prajurit Kurawa yang tewas, berguguran bagai daun-daun di musim rontok. Melihat itu, Duryodhona segera masuk ke kancah pertempuran dan berusaha mela-wan senjata gaib itu. Dikeroyok seperti itu, Bhimasena dan Dristadyumna hanya bisa mempertahankan diri.
Dharmaputra yang melihat keadaan itu dari kejauhan segera mengirimkan bantuan sebanyak dua belas pasukan bersenjata lengkap yang dipimpin Abhimanyu. Mendapat bantuan itu, Bhimasena merasa lega.
Belum sempat Pandawa menekan musuhnya, Drona datang dan menggempur pasukan Pandawa dengan hebat. Sais kereta Dristadyumna tewas seketika terkena panah Drona. Dristadyumna terpaksa melompat ke kereta Abhi-manyu dan Bhimasena melompat ke kereta Kekaya.
Dalam pertempuran di hari keenam Bhimasena lang-sung berhadapan dengan Duryodhona. Kedua orang yang bermusuhan itu saling mencaci dan memaki, sambil ber-perang menggunakan senjata andalan masing-masing.
Malang bagi Duryodhona, dalam pertarungan sengit itu ia terkena hantaman gada Bhimasena dan seketika itu jatuh pingsan. Secepat kilat Kripa menyambar Putra Mah-kota Kurawa untuk dilarikan ke tempat aman dan disela-matkan. Kemudian Bhisma datang dan menggempur pasu-kan Pandawa hingga berantakan.
Demikianlah, pertempuran tetap berlangsung sengit meskipun matahari sudah terbenam. Tak terhitung ba-nyaknya korban yang berjatuhan di kedua pihak. Kira- kira dua jam setelah matahari terbenam barulah pertempuran itu berhenti. Pandawa lega melihat Bhima dan Drista-dyumna kembali ke perkemahan mereka dengan selamat, walaupun sekujur tubuh Bhima penuh luka.
***
Setelah siuman, dengan luka di sekujur badannya, Duryo-dhana pergi ke kemah Bhisma. Lalu, seperti biasanya ia marah-marah. Katanya, “Perang ini makin hari makin memburuk. Pihak kita selalu kalah. Tak terhitung prajurit kita yang tewas. Rupanya engkau hanya menonton, tanpa berbuat apa-apa.”
Dengan sabar Bhisma membesarkan hati Duryodhona. Katanya, “Wahai Putra Mahkota, jangan biarkan hatimu risau begitu. Kami semua, Drona, Kritawarma, Salya, Wikarna, Aswatthama, Bhagadatta, Syakuni, dua bersau-dara dari Negeri Awanti, Raja Trigarta, Maharaja Magada dan Mahaguru Kripa... semua berpihak padamu. Semua kesatria besar itu rela mengorbankan jiwa mereka demi kemenangan Kurawa. Jangan berkecil hati. Hilangkan pikiran yang melemahkan jiwamu.
“Lihatlah! Beribu-ribu kereta, pasukan berkuda, pasu-kan gajah dan pasukan berjalan kaki datang dari berbagai negeri dan kerajaan, siap bertempur di pihakmu. Dengan balatentara luar biasa besar itu, engkau pasti bisa menak-lukkan musuh- musuhmu, bahkan dewa-dewa di kahyangan sekalipun! Jangan gentar! Maju terus!” demikianlah nasihat Bhisma kepada Duryodhona yang sedang putus asa.
***
Di hari ketujuh, pasukan Kurawa diatur dalam formasi lingkaran-lingkaran. Masing-masing lingkaran dilengkapi dengan pasukan gajah dan tujuh kereta. Setiap kereta dinaiki seorang perwira yang memimpin sepuluh prajurit pemanah; setiap prajurit pemanah dikawal oleh sepuluh prajurit penangkis panah. Semua prajurit membawa senjata lengkap. Di tengah-tengah formasi lingkaran-ling-karan itu, Duryodhona berdiri gagah, bagaikan Batara Indra dari kahyangan. Ia mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan atribut dan senjata-senjata saktinya.
Di pihak Pandawa, Yudhistira mengatur pasukan Pandawa dalam formasi wajrawyuha atau formasi halilintar.
Pertempuran di hari ketujuh berlangsung sangat sengit. Matahari belum sepenggalah tingginya ketika terjadi perta-rungan satu lawan satu di seluruh padang Kurukshetra: Bhisma berhadapan dengan Arjuna, Drona dengan Wirata, Aswatthama dengan Srikandi, Duryodhona dengan Drista-dyumna, Salya dengan Nakula dan Sahadewa, Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda dengan Yudhamanyu, Kritawarma – Citrasena – Wikarna - Durmarsa dengan Bhimasena.
Terlihat pula pertarungan sengit antara Bhagadatta dengan Ghatotkaca, Alambasa dengan Satyaki, Bhurisrawa dengan Dristaketu, Kripa dengan Chekitana, dan Srutayu dengan Yudhistira.
Kedua pihak bertarung dengan lawan yang seimbang. Tetapi, tentu saja ada yang akhirnya kalah atau menang. Wirata dikalahkan oleh Drona. Keretanya dihancurkan dan saisnya dibunuh, sehingga ia terpaksa melompat ke kereta Sanga, anaknya. Sanga bertempur dengan gagah berani, tetapi akhirnya tewas, menyusul saudara-saudaranya, Uttara dan Sweta, yang gugur di hari pertama.
Di hari ketujuh itu, Srikandi mengalami nasib buruk. Keretanya dihancurkan Aswatthama, hingga ia terpaksa melompat turun. Dengan pedang dan tameng ia terus me-nyerang Aswatthama. Kesatria itu melemparkan tombak-nya, tepat mengenai pedang Srikandi dan membuatnya patah menjadi dua. Srikandi tidak gentar dan terus menyerang. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan pedangnya yang puntung ke arah Aswatthama, tetapi putra Drona itu sempat mengelak. Sebagai balasan, Aswat-thama melesatkan panah berantai, membuat Srikandi lari menghindar dan melompat ke kereta Satyaki. Pada saat itu Satyaki sedang bertarung dengan Alambasa. Tetapi, kemu-dian Alambasa mundur, melarikan diri, karena tak sang-gup menghadapi gempuran lawannya.
Dalam pertempuran antara Duryodhona dan Drista-dyumna, kereta Duryodhona dapat dihancurkan. Putra Mahkota Kurawa itu terpaksa melompat turun dari kereta lalu bertarung di tanah dengan pedang dan tameng. Belum lama bertempur demikian, Syakuni datang menolongnya. Ia menyambar Duryodhona, menaikkan ke keretanya, lalu membawanya lari untuk diselamatkan. Di bagian lain, Kritawarma menggempur Bhima dengan garang tetapi ak-hirnya dapat dikalahkan dengan mudah. Keretanya hancur dan ia terpaksa melompat ke kereta Syakuni dengan tubuh penuh panah tertancap. Dari jauh ia tampak seperti seekor landak yang lari terbirit-birit.
Raja Awanti bersaudara, Winda dan Anuwinda, dapat ditaklukkan Yudhamanyu. Pasukan Kerajaan Awanti han-cur lebur. Sementara itu, Bhagadatta menyerang Gatot-kaca dengan hebat, hingga putra Bhimasena itu terpaksa mundur dan meninggalkan arena pertempuran. Pasukan Kurawa bersorak-sorak senang karena kemenangan mereka.
Hari sudah menjelang senja, tetapi Yudhistira masih terus bertempur dengan garang, berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini ia terluka terkena anak panah Sru-tayu yang dengan tepat dapat menghancurkan senjata Dharmaputra yang dilemparkan ke arahnya. Yudhistira menjadi marah dan membalas dengan melepaskan anak panah mahasakti yang membuat kuda dan sais kereta Srutayu hancur. Satu anak panah tepat mengenai dada Srutayu dan membuatnya terpelanting ke tanah. Dengan tenaga yang tersisa, ia mencoba lari meninggalkan arena pertempuran.
Di saat itu juga, Salya sedang berhadapan dengan kedua kemenakannya. Kereta Nakula dapat dihancurkan oleh Salya, sehingga Nakula terpaksa melompat ke kereta Sahadewa. Kemudian mereka bersama-sama menggempur Salya. Beberapa anak panah Sahadewa tepat mengenai Salya, membuat raja itu terluka. Sais keretanya yang setia cepat-cepat menyelamatkannya keluar dari arena pertem-puran. Kekalahan itu membuat semangat balatentara Dur-yodhana merosot.
Dalam pertempuran Kripa melawan Chekitana, maha-guru itu menghancurkan kereta dan membunuh sais kereta Chekitana. Tetapi, Chekitana terus melakukan per-lawanan sengit. Bola besi yang dilontarkannya ke arah kereta Kripa menghancurkan kereta itu dan membuat guru tua itu terpaksa melompat turun. Kemudian mereka berha-dapan dan bertarung di tanah dengan pedang terhunus. Alangkah sengitnya pertarungan kedua kesatria itu. Mere-ka saling menusuk dan melukai. Keadaan seimbang dan masing-masing terluka parah.
Ketika melihat keadaan mereka yang semakin lemah, Bhima mengangkat Chekitana yang berlumuran darah ke keretanya, sementara Syakuni segera melarikan Kripa dengan keretanya, keluar dari medan pertempuran dengan meninggalkan jejak tetesan darah di tanah.
Walaupun di tubuhnya tertancap hampir seratus anak panah Dristaketu, Bhurisrawa tampak bagaikan sinar matahari. Cahaya benderang memancar dari tubuhnya, wajahnya bersinar-sinar. Dalam keadaaan luka parah seperti itu, Bhurisrawa terus melawan hingga Dristaketu terpaksa mundur meninggalkan arena.
Di sisi lain, Abhimanyu menghadapi tiga saudara Dur-yodhana. Mereka dapat ditaklukkannya dengan mudah. Meskipun telah menang, Abhimanyu tidak bersikap kejam. Dibiarkannya ketiga tawanannya, tidak dibunuhnya, sebab Bhimasena telah bersumpah akan menghabisi nyawa mereka semua. Pada saat itu Bhisma datang melindungi mereka dan kemudian bertempur melawan Abhimanyu.
Melihat itu, Arjuna meminta Krishna untuk mengepung Bhisma. Kesatria tua itu menghadapi Arjuna yang dibantu oleh Pandawa lainnya. Pertempuran antara Bhisma dan Pandawa berlangsung hingga matahari terbenam. Tetapi, sesuai kesepakatan mereka, pertempuran diakhiri tepat ketika matahari tenggelam di kaki langit.
Mereka yang luka, ringan atau berat, sedapat mungkin diselamatkan nyawanya. Setelah makan malam, para pra-jurit dihibur oleh para penghibur yang menyajikan musik dan tari-tarian. Dalam acara tersebut juga dihidangkan aneka minuman dan para prajurit boleh minum sepuas-puasnya. Hiburan itu untuk melupakan keletihan, kekala-han dan kengerian pertempuran di siang harinya.
0 comments: