52. Setelah Perang Berakhir
Dengan menyerahnya Aswatthama kepada Bhimasena, perang besar Bharatayudha pun berakhir. Kurawa telah menerima kekalahan mereka. Ketika pertempuran di medan Kurukshetra berakhir, seluruh negeri berkabung. Beribu-ribu wanita, tua maupun muda, serta kanak-kanak mengiringi Maharaja Dritarastra berziarah ke medan perang, ke tempat pertempuran yang membawa kemusna-han.
Alangkah dahsyat dan mengerikannya keadaan di me-dan itu. Berdiri bulu roma orang yang melihat bekas-bekas pertempuran. Mereka menangis tersedu-sedu, mengenang orang-orang yang mereka kasihi, yang sudah tak ada lagi. Semua telah gugur, musnah ditelan perang besar yang tiada bandingnya.
Meskipun buta, Dritarastra dapat membayangkan beta-pa mengerikannya kemusnahan akibat peperangan. Ia menangis, menyesali semua kejadian yang mengakibatkan malapetaka terbesar yang pernah terjadi di dunia. Beribu-ribu perwira dan beratus ribu prajurit gagah berani tewas terkapar, sia-sia membuang nyawa.
Ketika itu, datanglah Bhagawan Wyasa hendak menghi-bur dan menenangkan Maharaja Dritarastra. Katanya, “Anakku Dritarastra, tak ada gunanya menyesal dan teng-gelam dalam dukacita dan berlarut-larut menangisi mereka yang telah gugur. Sebaiknya kita siapkan upacara pemaka-man para pahlawan sesuai adat yang suci untuk meng-hormati jasa-jasa mereka.
“Ketahuilah, jika jiwa sudah meninggalkan raga, maka hubungan persaudaraan atau kekerabatan tidak ada lagi. Sesungguhnya, kini antara kau dan anak-anakmu sudah tidak ada hubungan lagi, karena hubungan itu sudah diakhiri dengan kematian. Hidup di dunia ini hanyalah peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi. Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke ketiadaan. Tak ada yang perlu kita tangisi. Mereka yang mati setelah bertempur dengan gagah berani akan diterima oleh Batara Indra. Berduka karena kehilangan semua di masa lampau tidak akan mendekatkan kita pada kekayaan, kebahagiaan dan dharma.
“Dritarastra, semua hal pernah kuajarkan kepadamu. Tidak ada yang tidak kauketahui. Engkau tahu benar, semua yang hidup akan mati. Perang yang baru saja ber-akhir ini boleh dikatakan berguna untuk meringankan beban dunia. Begitulah amanat Batara Wishnu kepadaku. Ini tidak bisa dihindari. Mulai kini dan selanjutnya, anakmu adalah Yudhistira dan saudara-saudaranya. Cin-tailah mereka. Buang dukamu sebagai beban hidup ter-akhir. Tugasmu sekarang adalah mendampingi putra-putra Pandu, adikmu,” demikian Bagawan Wyasa menghibur Dritarastra sambil mendampinginya berziarah di medan Kurukshetra.
Dritarastra tidak dapat begitu saja melupakan kematian anak-anaknya, terutama kematian Duryodhona. Sakit hati dan dendamnya begitu kuat, terutama kepada Bhima. Tak mungkin dia memaafkan kemenakannya itu dan mengha-pus kenangan akan kematian Duryodhona.
Yudhistira dan saudara-saudaranya juga berziarah ke medan Kurukshetra. Sampai di sana ia segera mendekati Dritarastra dan menyembah pamannya itu, disaksikan oleh Bagawan Wyasa.
Dritarastra memeluk Dharmaputra dan putra Pandu itu berkata bahwa Bhimasena juga ada bersamanya.
“Suruh dia ke sini!” kata raja buta itu.
Krishna yang mendampingi Pandawa, cepat-cepat men-dorong Bhimasena ke samping dan menyodorkan patung besi kepada raja buta itu. Krishna tahu bahwa ayah Dur-yodhana itu sangat membenci Bhimasena. Dritarastra segera memeluk patung besi itu, membayangkan bahwa ia memeluk Bhimasena. Kebencian dan dendamnya kepada Bhimasena membakar tubuhnya dan menjelma menjadi
kekuatan gaib. Sambil komat-kamit mengucapkan kutuk-pastu, ia memeluk patung besi itu kuat-kuat sampai remuk.
“Kebencian telah memperbudak diriku. Aku telah membunuh Bhima dengan meremukkan badannya,” kata raja itu lega, terbebas dari rongrongan dendam di hatinya.
“Ya, Tuanku Raja, aku tahu ini pasti akan terjadi. Kare-na itu, aku halang- halangi maksud Tuanku. Sebenarnya engkau tidak membunuh Bhimasena, tetapi meremukkan sebuah patung besi. Sekarang, setelah dendam dan keben-cianmu lenyap, semoga hidupmu menjadi damai. Tuanku, Bhimasena masih hidup,” kata Krishna.
Maharaja Dritarastra menjadi lemas. Tetapi segera ia sadar bahwa tugas utama sebagai sesepuh keturunan Bha-rata telah menantinya. Dienyahkannya segala perasaan buruk dari hatinya, dipanggilnya para Pandawa dan direstuinya mereka dengan tulus. Setelah itu, ia menyuruh Pandawa menghadap dan memohon restu pada Dewi Gandhari.
Sementara itu, Bagawan Wyasa yang telah lebih dulu datang ke tempat Dewi Gandhari, sedang menasihati ibu para Kurawa itu. Katanya, “Sri Ratu, hendaknya engkau jangan marah atau dendam kepada Pandawa. Bukankah engkau sendiri pernah berkata, ‘di mana ada dharma, di situ kemenangan bertakhta’. Demikianlah Pandawa seka-rang. Tak pantas membiarkan hati dan pikiran dikenda-likan oleh dendam dan amarah.”
“Bagawan, aku tidak pernah iri akan kemenangan Pandawa. Memang aku sedih karena kematian semua anakku. Tapi aku sadar, Pandawa juga anak-anakku. Aku tahu, Duhsasana dan Syakuni yang sesungguhnya menjadi penyebab musnahnya rakyat kita. Arjuna dan Bhimasena tidak bisa disalahkan. Harga diri mendorong mereka terjun ke gelanggang pertempuran sebagai kesatria dan menjalani takdir masing-masing. Aku tidak pernah menyesali semua itu.”
Dewi Gandhari berhenti sesaat, menarik napas panjang dan mengusap air matanya. Kemudian melanjutkan, “Tetapi, kenangan akan suatu peristiwa tidak bisa dihapus dari hatiku. Di depan Krishna telah terjadi pertarungan antara Duryodhona dan Bhima. Tahu bahwa Duryodhona lebih unggul, Bhima menghantam bagian tubuh di bawah perutnya. Itu jelas menyalahi aturan pertarungan satu lawan satu. Tetapi Krishna membiarkan dan hanya melihat saja. Ini menyalahi dharma. Sungguh sukar bagiku untuk memaafkannya,” jawab Dewi Gandhari.
Sementara itu, Pandawa telah sampai di hadapannya. Bhima yang mendengar keluhan Dewi Gandhari, berkata, “Ibu, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Aku terikat oleh sumpah Dharmaraja. Kami telah menjalani hukuman selama tiga belas tahun. Setelah masa hukuman selesai, kami ingin memulihkan kehormatan kami. Apa boleh buat, untuk itu kami terpaksa merebutnya lewat peperangan karena jalan damai yang kami tawarkan tidak mendapat tanggapan.”
“Anakku, kalau saja engkau sisakan satu dari seratus anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya anak untuk menumpahkan duka kami. Di mana Dharma-putra? Panggil dia!” kata Dewi Gandhari.
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gan-dhari. Pelan-pelan ia mendekati permaisuri Dritarastra itu sambil berkata, “Wahai Permaisuri Raja, aku, Yudhistira yang jahat, telah membunuh anak-anakmu. Ini aku, menghadap engkau
sekarang. Kutuk dan hukumlah aku karena dosa-dosaku. Aku tidak peduli lagi akan hidupku dan kerajaanku.” Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan badannya, pasrah, dan bersujud di kaki Dewi Gan-dhari.
Dewi Gandhari telah bersumpah tak mau melihat dunia lagi sejak suaminya buta. Ia menutup matanya dengan sehelai kain dan bersumpah akan setia kepada suaminya hingga akhir hidupnya. Mengetahui Yudhistira bersujud di kakinya, cepat- cepat ia memalingkan muka, takut kalau-kalau bisa melihat Dharmaputra. Tetapi, dari celah bagian bawah kain penutup matanya, ia bisa melihat ibu jari kaki Dharmaputra. Begitu terpandang olehnya, ibu jari kaki itu langsung terbakar dan meninggalkan tanda hitam. Arjuna, yang tahu akan kekuatan gaib yang mematikan dari sorot mata Dewi Gandhari, segera bersembunyi di balik pung-gung Krishna.
Mendengar kata-kata Yudhistira, Dewi Gandhari ber-usaha menghilangkan amarah dan dendamnya. Dengan bijaksana dan dengan tutur kata halus, ia merestui Pandawa lalu menyuruh mereka menghadap Dewi Kunti. Kepada Draupadi yang sangat sedih karena kematian semua anaknya, Dewi Gandhari berkata, “Anakku, jangan engkau berduka. Siapa yang sanggup menghibur kita? Kita harus memikul beban sekuatnya. Kita juga bersalah dan ikut menjadi penyebab musnahnya bangsa ini.”
***
Setelah selesai melakukan upacara persembahyangan di tepi Sungai Gangga yang suci, untuk kedamaian mereka yang gugur di medan perang, Yudhistira bercakap-cakap dengan Bagawan Narada yang mendampingi Dewi Kunti.
Bagawan Narada berkata, “Berkat kebijaksanaan Krish-na, keperwiraan Arjuna, dan kekuatan dharma-mu, keme-nangan ada di pihakmu. Kini engkau menjadi penguasa bumi. Bahagiakah engkau?”
“Bagawan, benar seluruh kerajaan kini menjadi milikku, tetapi sanak saudaraku sudah tak ada lagi. Anak-anak kami tercinta telah gugur. Kemenangan ini ternyata meru-pakan kekalahan besar bagiku. Kami telah menjadikan sanak saudara kami sendiri sebagai musuh dan kami tega membunuh mereka.
“Karna, yang gagah perkasa dan dikagumi di seluruh dunia, mesti kami bunuh juga. Kami telah melakukan perbuatan terkutuk dan mengerikan, yaitu membunuh saudara sendiri. Kenangan akan Karna membuatku tersik-sa. Aku merasa berdosa karena membunuh dia. Ketika pertama kali melihat dia, yaitu ketika Draupadi dihina, aku jadi ingat ibuku, Dewi Kunti. Walaupun waktu itu aku sangat marah, aku melihat kaki Karna tak ubahnya kaki ibuku. Cara mereka melangkah pun sama. Aku ingat semua itu dan aku merasa sangat berdosa. Aku sedih sekali,” kata Yudhistira.
Kemudian Bagawan Narada menceritakan latar bela-kang dan kesalahan- kesalahan Karna sejak kesatria itu masih muda serta kutuk-pastu yang berkali-kali ia terima. Akhirnya Narada menasihati Yudhistira agar jangan me-nyesali kematian Karna, sebab nasibnya sendiri memba-wanya ke tujuannya sendiri.
Dewi Kunti menasihati putra sulungnya. Katanya, “Jangan salahkan dirimu karena kematian Karna. Ayahnya sendiri, Batara Surya, pernah memintanya untuk tidak berkawan dengan Duryodhona yang jahat. Batara Surya pernah menyuruh Karna bergabung dengan kalian, para Pandawa. Aku pun pernah mencoba memberinya penger-tian. Tetapi ia tidak mau mendengarkan siapa pun! Nasib seseorang ada di tangannya sendiri.”
Yudhistira menyahut, “Engkau telah membohongi kami, Ibu. Engkau tidak pernah menceritakan kelahiran Karna kepada kami. Karena itu, kami tidak mengenalnya sebagai saudara kandung.” Setelah diam sejenak, Yudhistira melanjutkan, “Menurutku, engkaulah pangkal semua dosa ini. Aku berharap, mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia.”
***
Banyak nasihat diberikan kepada Yudhistira, tetapi hati-nya tidak menjadi lega, malah sebaliknya. Setiap kali ingat akan sanak kerabatnya yang tewas di medan perang, hati-nya gelisah. Hatinya tak bisa tenang lagi dan seakan ber-kata-kata, menyuruhnya pergi ke hutan untuk bersamadi agar bisa menebus dosa-dosanya. Ia memanggil saudara-saudaranya dan mengutarakan niatnya. Dimintanya salah satu dari mereka memerintah kerajaan selama dia pergi.
Arjuna tidak setuju dengan niat Yudhistira. Menurut-nya, dosa-dosa dapat ditebus jika kita memerintah dengan kebajikan dan kearifan. Jadi, penebusan dosa tidak hanya lewat jalan sanyasa atau bertapa.
Bhimasena mengangguk-angguk sependapat. Katanya kepada Yudhistira, “Engkau seperti bicara di awang-awang. Engkau seperti ahli nujum yang hafal kalimat-kalimat sas-tra, tetapi tidak memahami maknanya. Sanyasa bukan dharma bagi kaum kesatria. Tugas kesatria adalah berani hidup dan berkarya di tengah kehidupan manusia di du-nia. Melakukan kewajiban seorang kesatria bukan dengan bertapa di dalam hutan.”
Nakula juga tidak setuju hidup secara sanyasa, seperti niat Dharmaputra. Ia memilih hidup berkarya sebagai kesatria. Sahadewa memberikan pandangannya dengan berkata, “Bagi kami, engkau adalah bapak, ibu, guru dan saudara. Jangan engkau tinggalkan kami untuk pergi bertapa di hutan. Mari kita pikul bersama semua beban ini!”
Dewi Draupadi berkata kepada Dharmaputra, “Membunuh Duryodhona, saudara-saudaranya, kawan-kawannya dan pengikut-pengikutnya adalah benar. Kenapa kita harus berduka? Di antara kewajiban seorang raja, memberi hukuman termasuk tugasnya. Sebagai raja, engkau tidak mungkin menghindari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk minta ampun. Tugas sucimu adalah memerintah kerajaan ini berdasarkan dharma. Berhentilah berduka!”
Bagawan Wyasa juga menasihati Dharmaputra alias Dharmaraja tentang tugas-tugas yang dihadapinya. Baga-wan itu meminta dengan sungguh-sungguh agar Dharma-raja pergi ke Hastinapura untuk mulai mengatur pemerin-tahan dan memikirkan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, setelah mendengar banyak nasihat, Dharma-putra mengurungkan niatnya untuk pergi bertapa. Maka upacara penobatannya menjadi raja disiapkan sebagai-mana mestinya di ibu kota Hastinapura. Segera setelah upacara selesai, Yudhistira berziarah ke tempat gugurnya Bhisma. Sambil duduk bersila, dengan khusyuk Yudhistira mendengarkan ajaran dharma lewat roh Bhisma. Sampai perang berakhir, jiwa Bhisma belum meninggalkan raga-nya. Setelah memberikan petunjuk- petunjuk suci tentang cara-cara menjalankan dharma kesatria untuk bekal memerintah kerajaan, Bhisma memberinya restu.
Yudhistira menyembah memberi hormat dan mengucap syukur karena menerima ajaran mulia dari junjungannya. Baru setelah itu jiwa Bhisma dengan
tenang meninggalkan raganya lalu naik ke surga diiringi nyanyian suci dan keharuman yang wangi semerbak.
Selanjutnya Yudhistira pergi ke tepi Sungai Gangga untuk menyucikan diri. Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu di tepi sungai suci itu. Tiba-tiba, kenangan-kenangan sedih di masa lalu memenuhi pikirannya. Hati-nya pedih, dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, ia jatuh pingsan. Bhimasena dan Pandawa yang lain menolongnya hingga siuman. Setelah Dharmaputra sadar, para Pandawa mencoba menghiburnya agar ia tidak larut dalam duka.
Dritarastra datang dan mencoba menghibur Dharma-putra dengan berkata, “Janganlah bersedih seperti ini. Bangkitlah! Engkau harus memerintah kerajaan Hastina dengan bantuan saudara-saudaramu. Rakyat telah me-nunggumu. Tugasmu sekarang adalah memerintah sebagai raja. Tinggalkan dukamu atau berikan saja kepadaku dan kepada Gandhari. Engkau telah mencapai kemenangan sesuai dharma kesatria. Buah kemenangan itu adalah memangku kedaulatan kerajaan Hastina.
“Aku memang bodoh, tidak menghiraukan nasihat Widura dan para sesepuh lainnya. Aku terlalu banyak men-dengarkan kata-kata Duryodhona, hingga aku sering mem-buat kesalahan. Aku telah menipu diriku dengan memba-yangkan masa keemasan. Kini mimpi-mimpi itu lenyap tak berbekas. Seratus anakku tewas di medan perang, tetapi aku masih punya engkau sebagai anakku. Janganlah eng-kau terus berduka!”
0 comments: