Kutukan Mahaguru Sukra Pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana, Dewayani dan putri- putri Wrishaparwa, raja para ra...

6. Kutukan Mahaguru Sukra





Kutukan Mahaguru Sukra


Pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana, Dewayani dan putri- putri Wrishaparwa, raja para raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi hutan yang jernih dan sejuk airnya. Sebelum menceburkan diri ke dalam air yang segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyim-pan pakaian itu di tepi telaga. Tiba-tiba angin puting beliung berembus kencang, menerbangkan pakaian mereka dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Tanpa sengaja Sarmishta, putri Wrishaparwa, mengenakan pakai­an Dewayani. Melihat itu Dewayani berkata, “Alangkah tidak pantasnya putri seorang murid mengenakan pakaian milik putri gurunya.”

Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan lembut, Sarmishta merasa disindir dan tersinggung. Ia marah dan dengan angkuh berkata, “Tidakkah engkau sadar bahwa ayahmu setiap hari dengan hinanya berlutut menyembah ayahku? Bukankah ayahmu menggantungkan hidupnya pada belas kasihan ayahku? Lupakah kau bahwa aku ini anak raja yang dengan murah hati memberikan tumpa-ngan hidup bagimu dan bagi ayahmu? Hai, Dewayani, sesungguhnya kau hanya keturunan peminta-minta! Lancang benar kata-katamu kepadaku.”

Memang benar apa yang dikatakan Sarmishta. Sebagai resi atau pandeta, Mahaguru Sukra berkasta brahmana. Sesuai adat, ia hidup dari belas kasihan orang lain. Jika memerlukan sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh meminta-minta. Meskipun demikian, sesungguhnya bagi kasta brahmana hal itu dianggap perbuatan yang mulia.

Dewayani tidak menanggapi kata-kata Sarmishta. Sebaliknya, Sarmishta yang terbakar oleh kata-katanya sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat mengendalikan diri, tangannya terayun, menampar pipi Dewayani. Ia bahkan mendorong putri resi itu sampai jatuh ke parit yang dalam. Sarmishta, yang mengira Dewayani sudah mati, segera kembali ke istana.

Sementara itu, Dewayani merasa cemas dan sedih karena tidak bisa keluar dari parit yang dalam itu. Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan Bharata, sedang berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu. Karena haus, ia mencari air. Dilihatnya ada parit berair jernih di dekat situ. Dia turun dari kudanya, mendekati

parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya. Ketika itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar parit. Yayati memperhatikan dengan lebih saksama dan terkejut melihat seorang putri jelita terpuruk di dalam parit.

Lalu ia bertanya, “Siapakah engkau ini, hai putri jelita dengan anting-anting berkilau dan kuku bercat merah indah? Siapakah ayahmu? Keturunan siapakah engkau? Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini?”

Dewayani menjawab sambil mengulurkan tangan kanannya, “Namaku Dewayani. Aku putri Resi Sukra. Tolonglah aku keluar dari dalam parit ini.”

Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong Dewayani keluar.

Dewayani tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan raksasa. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmishta. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.”

Yayati menjawab, “Wahai putri jelita, aku seorang kesatria dan engkau seorang brahmana.* Bagaimana aku bisa mengawini engkau? Apa mungkin putri Resi Sukra yang disegani di seluruh dunia menjadi istri seorang kesa-tria seperti aku? Putri yang agung, kembalilah pulang.” Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota kerajaannya.

Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk tidak pulang ke istana. Ia memilih tinggal di hutan, di bawah sebatang pohon.

Sementara itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya pulang. Beberapa hari berlalu, tetapi Dewayani tak kun-jung pulang. Akhirnya Resi Sukra menyuruh seseorang mencari putri kesayangannya.

Utusan itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya dia menemukan Dewa-yani yang duduk di bawah sebatang pohon di tepi hutan. Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena lama menangis. Wajahnya keruh karena marah. Utusan itu lalu bertanya, apa yang telah terjadi.

Dewayani menjawab, “Kembalilah engkau dan sampai­kan kepada ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan kakiku di ibukota kerajaan Wrishaparwa.”

Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada Resi Sukra.

Mendengar laporan utusannya, Resi Sukra sangat sedih. Ia segera menemui anaknya dan menghiburnya sambil berkata, “Anakku sayang, kebahagiaan dan keseng-saraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan mempengaruhi kita.” Demikianlah Resi Sukra mencoba menghibur anaknya.

* Menurut tradisi kuno yang disebut anuloma, perempuan dari kasta kesatria boleh menikah dengan laki-laki dari kasta brahmana. Tetapi, perempuan dari kasta brahmana tidak dibenarkan menikah dengan laki-laki dari kasta kesatria. Tradisi kuno yang disebut pratilonia ini untuk menjaga agar kaum wanita tidak direndahkan derajatnya ke status kasta yang lebih rendah. Hal ini dinyatakan dalam kitab-kitab suci Sastra.

Tetapi Dewayani menjawab dengan sedih bercampur dengki, “Ayahku, biarkanlah segala kebaikan dan keburu-kanku bersama diriku karena semua itu urusanku sendiri. Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak Wrishaparwa, ayahku seorang ‘budak penyanyi’ yang kerja­nya hanya menyanjung- nyanjung tuannya. Benarkah? Katanya, aku ini anak seorang peminta-minta yang hidup dari belas kasihan orang. Benarkah? Sarmishta sungguh kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan mendorongku ke dalam parit. Aku bersumpah, aku takkan sudi hidup di wilayah kekuasaan ayahnya.” Dewayani menangis tersedu-sedu.

Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra berkata, “Wahai anakku Dewayani, engkau bukan anak ‘budak penyanyi’ raja. Ayahmu tidak hidup dengan meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau putri seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di seluruh dunia. Batara Indra, raja semua dewa, tahu akan hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan mata terhadap hutang budinya kepada ayahmu. Tetapi, orang yang bijak-sana tidak pernah mengagung-agungkan kebesarannya sendiri.

“Sudahlah, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang jasa-jasa Ayah. Bangkitlah, wahai mutiara nan kemilau. Kaulah yang paling jelita di antara semua wanita. Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu. Bersabarlah dan marilah kita pulang.”

Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang.

Resi Sukra menasihatinya lagi, “Sungguh mulia orang yang dengan sabar menerima caci maki. Orang yang dapat menahan amarah ibarat kusir yang mampu menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat mem-buang amarah jauh-jauh seperti ular yang mengelupas kulitnya. Orang yang tidak gentar menerima siksaan akan berhasil mencapai cita-citanya. Seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci, orang yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang taat melakukan upacara sembahyang selama seratus tahun. Pelayan, teman, saudara, istri, anak-anak, kebajikan dan kebenaran akan meninggalkan orang yang tak mampu mengendalikan amarahnya. Orang yang bijaksana tidak akan memasuk-kan kata-kata anak muda ke dalam hatinya.”

Mendengar itu, Dewayani bersujud menyembah ayahnya, “Ayahanda, aku masih muda. Nasihat-nasihat Ayahanda masih sulit kupahami. Tetapi, sungguh tidak pantas bagiku untuk hidup bersama orang yang tidak mengenal sopan santun. Orang yang bijaksana tidak akan bersahabat dengan orang yang selalu menjelek- jelekkan keluarganya. Orang jahat, walaupun kaya raya, sesung-guhnya adalah hina dan tidak berkasta. Orang yang taat beribadah tidak pantas bergaul dengan mereka. Hatiku sangat marah karena keangkuhan anak Wrishaparwa. Segores luka lambat laun akan sembuh, tetapi luka hati karena kata-kata tajam akan meninggalkan goresan pedih yang seumur hidup takkan hilang.”

Setelah gagal membujuk putrinya untuk pulang, Resi Sukra kembali ke istana Wrishaparwa. Sampai di hadapan Raja, dengan mata tajam ia memandangnya sambil ber­kata, “Walaupun dosa seseorang tidak akan segera men­dapat balasan, lambat laun dosa itu pasti akan menghan-curkan sumber kekayaannya. Kacha, anak Wrihaspati dan seorang brahmacharin, telah menaklukkan pancaindranya dan tidak pernah berbuat dosa. Ia telah melayani aku dengan penuh kepatuhan dan tidak pernah melanggar sumpahnya. Para raksasa rakyatmu beberapa kali berusa-ha


membunuh dia, tetapi aku menghidupkannya lagi. Kini, anakku yang memegang teguh susila dicaci-maki oleh anakmu, Sarmishta. Ia bahkan mendorong anakku sampai jatuh ke parit yang dalam. Ia tidak tahan lagi tinggal dalam lingkungan kerajaanmu. Dan karena aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku akan pergi meninggalkan kerajaanmu.”

Mendengar itu, Wrishaparwa merasa terancam mala­petaka. Ia berkata, “Aku tidak mengerti mengapa engkau melontarkan tuduhan itu. Tetapi, kalau engkau pergi aku akan terjun ke dalam api.”

Resi Sukra menjawab, “Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan anakku. Aku tidak peduli nasibmu dan nasib para raksasa rakyatmu. Dewayani anakku satu- satunya, anak yang kukasihi melebihi hidupku sendiri. Engkau kuijinkan mencoba menenangkan dia dan membujuknya agar mau tetap tinggal di sini. Jika dia mau, aku tidak akan pergi.”

Maka pergilah Wrishaparwa diiringkan beberapa penga-wal. Mereka hendak menemui Dewayani di tepi hutan. Sesampainya di depan gadis itu, Wrishaparwa menyembah dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan keraja-annya.

Tetapi Dewayani berkata acuh tak acuh, “Sarmishta, yang mengata-ngatai aku anak pengemis harus menjadi dayang-dayang di rumahku dan harus menjadi pengiring­ku waktu aku dinikahkan oleh ayahku.”

Wrishaparwa menerima tuntutan itu dan memerin-tahkan pengiringnya menjemput Sarmishta. Putri raja itu mengakui kesalahannya, lalu menyembah sambil berkata, “Baiklah aku akan menjadi dayang-dayang Dewayani seperti yang dikehendakinya. Tidak seharusnya ayahku kehilangan mahagurunya dan menerima balasan atas kesalahanku.”

Dewayani menerima permintaan maaf Sarmishta. Mere-ka berdamai dan semua kembali ke istana Wrishaparwa.

Pada suatu hari Dewayani bertemu dengan Yayati. Ia mengulangi permintaannya dan berkata bahwa Yayati harus mengawini dia karena pernah memegang tangan kanannya erat-erat. Yayati menolak. Katanya, sebagai kesatria ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang kitab- kitab suci Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perka-winan itu sah.

Akhirnya, setelah mendapat restu dari Resi Sukra, Yayati bersedia menikahi Dewayani. Mereka hidup berba-hagia bertahun-tahun lamanya. Sarmishta menepati janji-nya. Ia setia melayani Dewayani sebagai dayang-dayang-nya, sampai pada suatu malam diam-diam ia menemui Yayati dan meminta pria itu mengawininya. Yayati tak kuasa menolaknya. Diam-diam Sarmishta dijadikan istrinya.

Ketika mengetahui hal itu, Dewayani marah sekali. Ia mengadu kepada ayahnya. Resi Sukra berang, lalu mengu-tuk Yayati menjadi orang tua ubanan sebelum waktunya dan pria itu akan kehilangan masa mudanya.

Mengetahui dirinya dikutuk mertuanya yang sangat sakti, Yayati takut sekali. Ia pergi menghadap Resi Sukra, menyembah dan memohon ampun. Tetapi, Mahaguru Sukra belum lupa akan penghinaan yang pernah diterima anaknya.

Resi Sukra berkata, “Wahai, Tuanku Raja, engkau akan kehilangan masa mudamu dan kemegahanmu. Kutuk-pastu yang telah kulontarkan tak dapat

dibatalkan. Tetapi, engkau bisa minta tolong seseorang yang bersedia menu-kar ketuaanmu dengan kemudaannya. Hal ini bisa terjadi.”

Demikianlah, sejak menerima kutukan mertuanya, Yayati berubah menjadi lelaki tua renta yang kehilangan keperkasaannya.



0 comments:

Recents